Puncak Sikunir Mempunyai Sudut Lain Yang Bisa Dicontoh

Obyek Wisata Sikunir "The Golden Sunrise" kata bapak Dayat, beliau adalah salah satu pengurus kelompok sadar wisata Puncak Sikunir, ternyata memiliki sisi lain yang pantas untuk dijadikan contoh oleh Desa wisata lain yang ada di negri ini. saya bisa mengambil kesimpulan dalam menulis blog ini karena kekaguman saya terhadap masyarakat Desa Sembungan yang sangat ramah dan selalu memberikan kehangatan disetiap tamu atau wisatawan yang datang. mereka sadar betul akan pengaruh terhadap dunia pariwisata yang sudah mereka rasakan selama ini. dimata mereka, entah itu wisatawan atau tidak, sebuah satpa pesona akan tetap mereka jaga ditengah kehidupan mereka.


Awalnya saya tertarik untuk datang kesini karena mendengar beberapa berita bahwa ada salah satu Desa yang berada di dataran tinggi Dieng yang sering mendapatkan penghargaan sebagai Desa Wisata terbaik di Indonesia . Ketika orang-orang menceritakan tentang Dieng atau Ndieng kalo orang Bantul bilang hehe, pasti mereka menceritakan tentang keindahan panorama alam di Puncak Sikunirnya, yang katanya ada sunrise yang indah terdapat disana. Maka dari itu juga kebetulan saya sedang ada tugas mata kuliah Turism Antolopogy maka saya memutuskan untuk ke Puncak Sikunir yang akan saya tuju.

Perjalaan dari Jogja ke Wonosobo mungkin sekitar 3 jam. Akhirnya saya sampai di Wonosobo dan pukul 23.00 WIB langsung menuju arah Dieng. Jarak antara pusat wisata Dieng dengan pintu masuk Puncak Sikunir sekitar 7 km, akhirnya saya sampai juga di pintu masuk Obyek Wisata Puncak Sikunir. Desa Tertinggi di Pulau Jawa, yaitu Desa Sembungan, Desa dengan ketinggian 2300. mdpl .


Udara dingin sudah dirasakan ketika naik Wonosobo dan puncak dingin itu terasa Ketika saya masuk di depan Desa Sembungan, didepan sudah ada 2 petugas karcis dan kami berhenti sejenak untuk membayar retribusi, penjaga itu tak lain adalah warga Desa Sembungan, beliau adalah Bapak Dayat, dan yang satunya saya lupa namanya hehe. kami sempat mengobrol lama dan berbagi cerita hingga pukul 03.00 wib. ketika saya tanya tentang kehidupan masyarakat Desa Sembungan beliau menjawab dengan ramah dan perbincangan kami terasa hangat, Pak Dayat dulunya merupakan salah satu dati beberapa pendiri obyek wisata sikunir dan termasuk yang senior diantara penggiat wisata lainnya yang berda di Desa Sembungan.

kehidupan masyarakat di Desa Senbungan sudah sangat terbantu sekali dengan adanya kegiatan pariwisata, terlebih mayoritas penduduk Desa Sembungan adalah Petani, dengan prospek pariwisata yang cukup bagus maka panduduk menyikapinya dengan cara membuat homestay sebagai selingan, lalu membuat makanan khas seperti carica, menjadi pedagang dan menjadi tour guide. Ini adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan taraf ekonomi de pedesan ditengah pariwisata yang terus meningkat. Pak Dayat menambahkan dilingkungan masyarakat Desa Sembungan tentang pariwisata yang terus berkembang, kehidupan masyarakat tetap menjunjung tinggi nilai gotong royong, menjaga kearifan lokal dan menjalankan kehidupan beragama. Saya mulai kagum dengan Desa ini yang katanya jika ada wisatawan yang hendak menginap dengan pasangannya, jika tanpa ada bukti pasangan yang sah, mereka tetap menolak walau dengan diberi harga yang tinggi untuk per malamnya. Bapak yang ada di samping Pak Dayat juga mengatakan bahwa masyarakat Desa Sembungan sudah sepakat bilamana terdapat wisatawan yang hendak menginap dengan pasangan tanpa adanya surat nikah yang sah maka tetap ditolak, ini karena masyarakat takut dengan dosa, ujarnya. Sebuah kemaksiatan yang dibiarkan dilakukan didalam kampung walau itu hanya terdapat di satu rumah, maka seluruh Desa akan menerima dosanya. Mereka tidak akan membiarkan hal itu terjdi. Mereka sadar betul akan dampak yang terjadi bilamana membiarkan kemaksiatan terjadi di Desanya, sektor pariwisata memang mempunyai dampak yang beragam termaksuk hal ini, banyak diluar yang mencari dari segi komersial dengan membebaskan segala hal termasuk kemaksiatan dan maraknya minuman beralkohol yang dapat diakses secara mudah, namun untuk di Desa Sembungan masyarakat sudah sepakat untuk tidak mengizinkan hal itu terjadi. 

Pukul 03.00 pagi sudah tiba, itu artinya saya harus segera meninggalkan tempat ini dan harus menuju di puncak. Dingin memang tidak bisa dihindarkan ditempat ini, ketika berada diparkiran saya hendak menuju sebuah warung kopi dan melawan udara dingin itu dengan meminum secangkir kopi susu kesukaan saya dengan diaduk dengan air panas yang masih mendidih, penjual itu menyajikan kopi itu kepada saya dengan senyuman yang khas, ketika kopi iyu sudah berada di meja, saya langsung mengenggam gelas itu luayan lama hingga tangan saya merasakan kehangatan, lalu saya meminum kopi itu sekejap tubuh terasa hangat walau kaki dan badan masih mengigil karena hawa dingin yang terus menusuk.
Diperjalanan menuju puncak terdapat rombongan dari STB Bandung, mereka tampak antusias dan bersemangat menaiki ratusan anak tangga yang berada didepan. ketika sampai puncak saya merasa kecewa karena kabut dipuncak yang masih tebal, ya mau gimana lagi ini kan alam, bagaimanapun alam tetap tidak dapat dapat tergoyahkan oleh hawa nafsu manusia, walaupun nafsu itu sebesar lautan. hahaha




Saya menunggu kabut itu turun hingga puku 07.00 Wib, sepertinya tidak ada perubahan. Saya malah takut kalau menunggu terlalau lama justru hujan akan datang. saya langsung turun menuju parkiran. ketika saya berada ditempat parkir saya langsung menuju warung kopi yang tadi ketika saya berangkat tadi. Sampai di tempat parkir saya melihat ada sebuah telaga, Telaga Cebongan kata pemilik warung kopi itu, katanya telaga itu berfungsi sebagai sumber air untuk  lahan pertanian, disisi lain telaga itu juga dimanfaatkan sebagai tempat wisata. Memang disana saya melihat terdapat beberapa perahu yang sudah disiapkan untuk wisatawan yang tertarik mengelilingi telaga. 
Ketika saya berkeliling ditepi telaga Cebongan saya disapa oleh pengelola Puncak Sikunir, sebuah sapaan yang khas dari masyarakat Sembungan, saya penasaran dengan sejarah kawasan ini kenapa di desa sekecil ini bisa menjadi primadona wisatawan, saya menghampiri bapak tersebut dan mengobrol didepan mushola dekat tempat parkir.


Beliau adalah bapak Purwanto, Pak Pur panggilan akrabnya ketika berkenalan dengan beliau. Beliau menceritakan sejarah berdirinya Puncak Sikunir sampai pengelolaanya sekarang. Yah, mendirikan tempat wisata memang semuanya butuh proses, dari konsep yang dibuat hingga pelaksanaannya. semua tak bisa tercapai dengan mudah, dulunya masyarakat banyak yang meragukan akan hal ini, tapi dengan proses yang panjaang akhrnya kawasan wisata ini sudah berhasil dan masyarakat  bisa menerima semuanya. Pak Pur memberi tahu kepada saya bahwa konsep pariwisata di Puncak Sikunir ini adalah menciptakan service yang memuaskan. 
Beliau yakin sebuah tempat wisata yang bagus tanpa didalamnya ada service yang memuaskan tidak akan membuat pengunjung merasa nyaman. Untuk di Sikunir sendiri, pengelola berani menjamin bahwa keamanan disini bisa terjaga 100%. hal ini karena adanya dorongan masyarakat yang ikut sertaa membantu mengamankan dan membuat suasana adhem ayem di kawasan wisata ini bisa terwujud.
Lalu yang kedua pengelola tetap memegang teguh peraturan masyarakat yang tidak memperbolehkan minuman beralkohol masuk diwilayah ini. Ini dibuktikan dengan beberapa kejadian wisatawan yang datang dan diketahui membawa minuman beralkohol lalu tanpa segan-segan petugas langsung meminta minuman beralkohol tersebut tanpa toleransi sedikitpun. Memang dari dulu peraturan itu sudah dibuat warga karena keinginan waga. Pernah ada kejadian kata Pak Pur, dulu pernah ada wanita membawa minuman beralkohol dan diselipkan di dadanya dan petugas pada saat itu kecolongan, namun dari hal tersebut kini pemeriksaan dilakukan oleh petugas laki-laki dan perempuan.
Dan yang terakhir pengelola disini selalu memperdulikan setiap wisaatawan yang sedang mengalami masalah. Adapun masalah yang dialami wisatawan para pengelola bisa membaca dari bentuk bahasa tubuh masing-masing. Pak Pur menambahkaan dulu pernah ada wisataan dari kota Bandung yang kelihatan cemas, ketika didekati dan diajak berbicara wisatawan tersebut tidak mengaku apa-apa. Namun karena didesak oleh pengelola wisata, wisatwan itu menceritakan bahwa uang saku untuk pulang sudah mepet, untuk melakukan perjalanan pulang saja uang sudah tidak cukup apalagi buat makan ujarnya, lalu dengan pengelola tersebut tanpa menunggu lama langsung mengajak wisatwan itu makan bersama dan menghantarkan sampai di Wonosobo. Ketika akan berpisah wisatawan itu diberi uang untuk tambahan membeli bahan bakar agar wisatawan tersebut bisa pulang sampai tujuan. 
Hal ini dilakukan pengelola wisata demi mewujudkan service yang diharapkan mampu memuaskan wisatwan. Ini merupakan cara agar wisata Puncak Sikunir ini bisa memberikan kesan yang baik dimata wisatawan. Saya menyimpulkan di tempat wisata ini selain mempunyai tempat yang bagus namun kehidupan masyarakat disini selaras dengan keindahan alamnya. Mereka sederhana tapi tidak mersa kekurangan, Mereka kompak dalam membangun sebuah tujuan, Mereka Hebat dengan berdiri diatas kaki mereka sendiri, Mereka manusia bijak dengan melestarikan alam, Mereka seni dalam sebuah dunia pariwisata.

  




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukit Tompak Piyungan

Dusun Ngelosari Punya Tempat Makrab Yang Asik Dan Menantang

Strategi Pengembangan Homestay di Desa Wisata